Minggu, 09 Agustus 2020

Kenapa Pasien COVID-19 Mengalami Cegukan? Ini Penjelasannya

Cegukan yang tidak berhenti selama berhari-hari kemungkinan menjadi gejala COVID-19. Hal itu diketahui dari sebuah studi yang diterbitkan dalam American Journal of Emergency Medicine. Dilansir dari Forbes, studi tersebut menunjukkan kasus seorang pria 62 tahun mendatangi IGD dengan keluhan cegukan selama 4 hari dan ternyata dia terinfeksi virus corona COVID-19.
Laporan kasus yang ditulis oleh Garret Prince dan Michelle Sergel ini juga melaporkan bahwa pria tersebut tidak mengalami demam tinggi, sesak napas, nyeri dada, maupun gejala umum COVID-19. Tetapi, ia mengalami cegukan selama 4 hari dan penurunan berat badan sekitar 11 kg lebih.

Ketua tim pelacakan pencegahan dan penanggulangan COVID-19 Jawa Timur (Jatim), dr Kohar Hari Santoso, mengatakan cegukan yang dialami oleh pasien Corona bukan menjadi gejala baru. Ia juga menegaskan bukan berarti setiap orang yang mengalami cegukan bisa didiagnosa terinfeksi COVID-19.

Hal ini normal terjadi karena bisa disebabkan, salah satunya kekurangan suplai oksigen.

"Mungkin yang tertangkap cegukannya, padahal saturasi oksigen turun. Jadi bukan gejala baru, tapi memang bisa semacam itu. Saya ndak tau itu berapa kasus yang seperti itu cegukan," jelas dr Kohar di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Minggu (9/8/2020).

Koordinator Rumpun Kuratif Satgas COVID-19 Jatim, dr Joni Wahyuhadi, menanggapi hal yang sama tentang penyebab pasien positif Corona mengalami cegukan yaitu kekurangan oksigen. Selain itu bisa juga karena mekanisme sentral otak (kelelahan sistem saraf pusat), atau infeksi di saluran pencernaan.

"Jadi macam-macam. Nah tadi disebutkan masuknya virus kan dari hidung, mulut dan mata, itu masuk saluran cerna juga," ucap dr Joni.

Heboh Virus 'Tick-Borne' di China, Perlukah Indonesia Khawatir?

Belakangan ini heboh tentang adanya kasus infeksi virus di China yang disebabkan oleh gigitan kutu atau dikenal dengan tick-borne. Virus ini telah menginfeksi sedikitnya 60 orang dan menewaskan 7 korban.
Dikutip dari Firstpost, virus yang terjadi di China telah diidentifikasi sebagai penyebab penyakit severe fever with thrombocytopenia syndrome (SFTS). SFTS bukanlah penyakit baru karena virus ini sudah ditemukan sejak tahun 2009 dan pernah menginfeksi di Korea Selatan dan Jepang.

Lantas apakah Indonesia perlu khawatir dengan virus SFTS yang disebabkan oleh kutu atau tick-borne ini?

Menurut Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, Msc, perlu adanya pengecekan terlebih dahulu, apakah kutu pembawa virus tersebut ada atau tidak di Indonesia.

"Kalau itu zoonosis, kita lihat kutunya 'tick-borne' itu ada nggak di Indonesia? Kalau kutunya nggak ada ya kita nggak perlu khawatir. Kalau kutunya ada ya kita perlu khawatir karena virus itu baru terjadi lagi di China dan bisa saja sudah ada di Indonesia," kata dr Miko kepada detikcom, Minggu (9/8/2020).

Sebelumnya dalam sebuah studi tahun 2015, ada beberapa spesies kutu yang diduga sebagai pembawa virus SFTS, di antaranya H longicornis, R microplus, H campanulata dan D sinicus pada anjing, kucing, domba, dan sapi.

Meski begitu, dr Miko mengatakan bahwa saat ini kita tidak perlu khawatir terkait virus tersebut. Sebab, jumlah kasusnya yang masih terbilang sedikit.

"Karena sekarang yang ditakutkan justru demam berdarah karena lagi musim," ucapnya.

"Jadi kalau penyakitnya itu masih jarang kita nggak perlu khawatir. Kalau penyakit itu banyak, seperti demam berdarah, COVID yang sudah banyak jadi takut gitu. Jadi prevalensinya masih jarang penyakit tadi," jelasnya.
https://indomovie28.net/japanese-mother-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar