Selasa, 24 November 2020

Setelah Vaksin, AstraZeneca Kini Uji Klinis Obat Antibodi COVID-19

 Perusahaan farmasi AstraZeneca memulai uji klinis fase 3 dari obat kombinasi antibodi monoklonal yang diharapkan dapat digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi COVID-19 pada orang yang berisiko hingga 12 bulan. Uji klinis internasional fase 3 ini akan merekrut total 5.000 orang di seluruh negara di Eropa dan Amerika Serikat untuk menilai keamanan dan efektivitas obat antibodi, yang dikenal sebagai AZD7442.

Pengobatan profilaksis berbeda dari vaksin yang memperkenalkan antibodi, bukan mendorong sistem kekebalan tubuh untuk membuatnya. Ini mungkin bermanfaat pada orang yang sistem kekebalannya lemah atau terganggu, dan yang tidak bisa menerima vaksinasi.


"Apa yang kami selidiki dalam studi ini adalah apakah kami dapat memberikan perlindungan dengan memberikan antibodi yang telah terbukti dapat menetralkan virus, dengan menyuntikkan ke otot," kata Andrew Ustianowski, seorang profesor dan kepala peneliti studi di Inggris, dikutip dari Reuters.


"Harapannya adalah ini akan memberikan perlindungan yang baik selama berbulan-bulan dari infeksi," lanjutnya.


Antibodi monoklonal meniru antibodi alami yang dihasilkan tubuh untuk melawan infeksi. Mereka dapat disintesis di laboratorium dan sudah digunakan untuk mengobati beberapa jenis kanker.


AstraZeneca mengatakan kombinasi obat COVID-19 ini menggabungkan dua antibodi monoklonal, memiliki potensi untuk mengobati dan mencegah perkembangan penyakit pada pasien yang sudah terinfeksi virus SARS-CoV-2, dan untuk diberikan sebagai pengobatan pencegahan sebelum orang-orang yang rentan, misalnya petugas kesehatan, terpapar virus.


"Ini telah direkayasa secara khusus untuk memiliki apa yang kami sebut waktu paruh yang panjang, (jadi) kami pikir mereka akan memberikan perlindungan selama enam, tetapi lebih mungkin mendekati 12 bulan," terang Mene Pangalos, wakil presiden eksekutif bagian penelitian dan pengembangan AstraZeneca.

https://tendabiru21.net/movies/himalaya/


Penting! Begini Cara Cegah Serangan Jantung Saat Olahraga


 Kabar duka datang dari dunia sepakbola Indonesia. Legenda Ricky Yacobi meninggal dunia. Ricky diduga mengalami serangan jantung saat sedang bermain sepakbola untuk ajang silaturahmi dengan tajuk Trofeo Medan Selection di Lapangan ABC, Senayan, Jakarta Pusat.

"Habis cetak gol mau selebrasi, terus jatuh kena serangan jantung," ujar rekan almarhum, Lody Hutabarat, melalui grup WhatsApp.


Tak hanya dialami oleh Ricky Yacobi, kasus serangan jantung saat berolahraga kerap kali terjadi. Beberapa atlet juga dikabarkan mengalami serangan jantung saat berolahraga yang kemudian merenggut nyawanya.


Apa sih yang perlu diperhatikan saat olahraga biar nggak terkena serangan jantung?

Spesialis jantung dr Vito A Damay, SpJP(K), dari Siloam Hospitals Lippo Village mengatakan, sebelum melakukan olahraga pastikan dulu kapasitas tubuh kita dengan aktivitas yang akan dilakukan.


"Perhatikan kapasitas jantung yang jadi modal awal kita. Seperti mobil dan motor yang kalau mau ke luar kota pastinya dicek dulu kelengkapannya. Apalagi usia di atas 40 tahun di mana lebih sering terjadi kasus henti jantung pada atlet dan diakibatkan jantung koroner yang sebenarnya bisa dicegah atau setidaknya diketahui lebih awal," jelas dr Vito, saat dihubungi detikcom, Sabtu (21/11/2020).


"Pemeriksaan elektrokardiografi dan pemeriksaan fisik menggunakan stetoskop merupakan standar pemeriksaan rutin. Setelah itu pemeriksaan tambahan treadmill test dan echocardiography (USG jantung) jika dianggap perlu," tambah dr Vito.


dr Vito menjelaskan bahwa serangan jantung terjadi karena sumbatan mendadak pada pembuluh darah koroner yang seharusnya memberi makan otot jantung agar kuat memompa jantung.

https://tendabiru21.net/movies/the-himalayas/

Segera Lapor Jika Alami Gejala Tidak Biasa Setelah Imunisasi

 Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, mengatakan tidak semua tubuh penerima vaksin akan mengalami reaksi yang sama. Sebab, kondisi tubuh setiap orang berbeda-beda.

Oleh karenanya, jika melihat, merasakan gejala dan reaksi yang tidak biasa usai mendapatkan vaksin, sedapat mungkin untuk langsung melaporkan kejadian tersebut agar dapat segera ditindaklanjuti.


"Proses pemantauan dan pengkajian terhadap Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) akan terus dilakukan oleh lembaga terkait," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/11/2020).


dr. Hindra memaparkan KIPI adalah setiap kejadian medis setelah imunisasi yang diduga mempunyai hubungan dengan pemberian vaksin. Hal ini dapat berupa gejala atau tanda yang tidak nyaman atau tidak diharapkan, kelainan hasil laboratorium, tanda atau penyakit.


Masyarakat, kata dia, bisa melaporkan KIPI dengan mudah melalui formulir yang bisa diunduh dari tautan bit.ly/formkipi. Dari laporan yang masuk tersebut, akan ditindaklanjuti dan dikaji apakah hal tersebut memang disebabkan oleh vaksinnya itu sendiri, atau prosedur pemberiannya, bahkan bisa karena koinsiden atau kebetulan.


"Sudah ada Komnas KIPI yaitu Komite Independen yang akan melakukan pengkajian untuk penanggulangan laporan KIPI. Komite ini terdiri dari orang-orang yang kompeten mulai dari dokter spesialis anak, spesialis penyakit anak, epidemiolog hingga dokter forensik," paparnya dalam Dialog Produktif bertema 'Keamanan Vaksin dan Menjawab KIPI beberapa waktu lalu.


Menurutnya, KIPI yang terjadi kemungkinan besar tidak akan berat. Karena dalam proses pengembangan vaksin, keamanan selalu menjadi hal utama yang dinilai dan dipantau bahkan sejak bakal vaksin masuk dalam fase praklinik.


"Setiap fase dalam uji klinis harus melewati proses keamanan untuk dapat maju ke fase berikutnya," pungkasnya.

https://tendabiru21.net/movies/the-sorcerer-and-the-white-snake/


Setelah Vaksin, AstraZeneca Kini Uji Klinis Obat Antibodi COVID-19


Perusahaan farmasi AstraZeneca memulai uji klinis fase 3 dari obat kombinasi antibodi monoklonal yang diharapkan dapat digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi COVID-19 pada orang yang berisiko hingga 12 bulan. Uji klinis internasional fase 3 ini akan merekrut total 5.000 orang di seluruh negara di Eropa dan Amerika Serikat untuk menilai keamanan dan efektivitas obat antibodi, yang dikenal sebagai AZD7442.

Pengobatan profilaksis berbeda dari vaksin yang memperkenalkan antibodi, bukan mendorong sistem kekebalan tubuh untuk membuatnya. Ini mungkin bermanfaat pada orang yang sistem kekebalannya lemah atau terganggu, dan yang tidak bisa menerima vaksinasi.


"Apa yang kami selidiki dalam studi ini adalah apakah kami dapat memberikan perlindungan dengan memberikan antibodi yang telah terbukti dapat menetralkan virus, dengan menyuntikkan ke otot," kata Andrew Ustianowski, seorang profesor dan kepala peneliti studi di Inggris, dikutip dari Reuters.


"Harapannya adalah ini akan memberikan perlindungan yang baik selama berbulan-bulan dari infeksi," lanjutnya.


Antibodi monoklonal meniru antibodi alami yang dihasilkan tubuh untuk melawan infeksi. Mereka dapat disintesis di laboratorium dan sudah digunakan untuk mengobati beberapa jenis kanker.


AstraZeneca mengatakan kombinasi obat COVID-19 ini menggabungkan dua antibodi monoklonal, memiliki potensi untuk mengobati dan mencegah perkembangan penyakit pada pasien yang sudah terinfeksi virus SARS-CoV-2, dan untuk diberikan sebagai pengobatan pencegahan sebelum orang-orang yang rentan, misalnya petugas kesehatan, terpapar virus.


"Ini telah direkayasa secara khusus untuk memiliki apa yang kami sebut waktu paruh yang panjang, (jadi) kami pikir mereka akan memberikan perlindungan selama enam, tetapi lebih mungkin mendekati 12 bulan," terang Mene Pangalos, wakil presiden eksekutif bagian penelitian dan pengembangan AstraZeneca.

https://tendabiru21.net/movies/goodbye-mr-loser/