Minggu, 03 Januari 2021

Usai Vaksinasi, Masih Bisa Positif COVID-19? Ini Penjelasannya

 Akhir-akhir ini kabar terkait seorang tenaga kesehatan positif COVID-19 usai menerima vaksin menghebohkan dunia. Disebutkan seorang perawat asal San Diego, California, Amerika Serikat, menerima vaksin COVID-19 Pfizer pada 18 Desember 2020. Kala itu ia hanya mengeluhkan nyeri pada lengannya.

Enam hari setelahnya, ia mengalami kedinginan, nyeri otot dan kelelahan. Hasil tes cepat di rumah sakit mengkonfirmasi ia positif COVID-19.


Mengapa hal ini bisa terjadi?

Spesialis penyakit menular dari Pusat Kesehatan Keluarga San Diego, mengatakan usai menerima vaksin, pasien tidak segera mendapat perlindungan. Butuh waktu untuk mengembangkan imunitas pasca vaksinasi.


"Kami tahu dari uji klinis vaksin bahwa perlu waktu sekitar 10 hingga 14 hari bagi Anda untuk mulai mengembangkan perlindungan dari vaksin," katanya dikutip dari ABC News.


Bahkan setelah 10 hingga 14 hari itu, pasien masih membutuhkan dosis vaksin kedua untuk perlindungan penuh.


"Dosis pertama kami pikir memberi Anda sekitar 50 persen (kekebalan), dan Anda membutuhkan dosis kedua itu untuk mencapai 95 persen," tambah Ramers.


Kemungkinan lain adalah, karena masa inkubasi COVID-19 bisa selama 14 hari, bisa saja perawat tersebut sudah terinfeksi sebelum menerima vaksin pada 18 Desember.


Kedua skenario di atas merupakan pengingat bahwa vaksin bukanlah obat mujarab. Sebaliknya, kata para ahli, membendung pandemi akan membutuhkan waktu dan kepatuhan terus-menerus pada praktik kesehatan masyarakat yang mendasar seperti menjaga jarak, memakai masker, dan cuci tangan.

https://movieon28.com/movies/revanche/


Heboh Vaksin Corona Sinovac Mengandung Jaringan Kera, Bio Farma Pastikan Hoax!


Media sosial dihebohkan dengan informasi terkait vaksin COVID-19 Sinovac. Dalam informasi yang beredar, disebutkan bahwa vaksin COVID-19 Sinovac yang akan disuntikkan menggunakan vaksin untuk uji coba.

"Jelas bertuliskan Only for clinical trial (hanya untuk uji coba klinis alias untuk kelinci percobaan," tulis pesan tersebut.


Menanggapi, juru bicara vaksin COVID-19 PT Biofarma, Bambang Herianto S.Si.,Apt, menyebut vaksin COVID-19 yang saat ini berada di tempat penyimpanan Bio Farma berbeda dengan yang digunakan untuk uji klinis.


"Pemberitaan yang menyebutkan bahwa vaksin yang digunakan untuk uji klinis atau only for clinical trial sebagaimana yang tertulis dalam kemasan vaksina dalah tidak benar," katanya dalam konferensi pers Update Target Penyelesaian Vaksinasi dan Kesiapan Vaksin COVID-19, Minggu (3/1/2020).


Bambang menambahkan vaksin yang sudah ada saat ini di Bio Farma dan yang akan digunakan untuk program vaksinasi kemasannya berbeda dengan vaksin yang digunakan untuk uji klinis. Kemasan vaksin uji klinis menggunakan PFS di mana wadah vaksin dan jarum suntik terpisah.


Sementara untuk program vaksinasi, kemasannya menggunakan vial single dose dan tidak ada penandaan 'only for clinical trial' karena sudah mendapat izin penggunaan BPOM.


Selain itu dalam pesan tersebut juga dituliskan bahwa vaksin COVID-19 Sinovac mengandung Vero Cell dari kera hijau Afrika dan beberapa komponen lain yang tidak teruji kehalalalnya. Lagi-lagi Bambang menyebut informasi tersebut adalah hoax.


"Dapat juga kami sampaikan bahwa vaksin COVID-19 Sinovac tidak mengandung vero cell. Sel vero hanya digunakan untuk pengembangan kultur virus untuk proses perbanyakan virus. Kalau tidak ada media kultur maka virus akan mati dan tidak bisa digunakan untu pembuatan vaksin" jelasnya.


"Sel vero ini tidak akan ikut sampai proses akhir pembuatan. Vaksin COVID-19 Sinovac saat ini sedang dalam proses aspek kehalalannya oleh LP POM MUI untuk mendapatkan sertifikasi halal," pungkasnya.

https://movieon28.com/movies/au-pair-girls/

Fakta-fakta Parosmia, Gejala Terbaru COVID-19 yang Bukan Anosmia

 Gejala COVID-19 yang umum dan dapat dikenali salah satunya adalah anosmia atau kehilangan kemampuan mencium bau dan merasakan rasa. Belakangan, muncul gejala baru COVID-19 yang disebut parosmia yaitu kondisi yang membuat pasien susah mengidentifikasi bau.

Pengidap parosmia dapat mendeteksi bau yang salah bagi mereka. Misalnya, bau roti yang baru dipanggang mungkin berbau menyengat dan busuk, bukan bau manis. Banyak orang mengalami parosmia karena berbagai hal yang berbeda, termasuk COVID-19.


Ahli bedah telinga, hidung dan tenggorokan (THT) dari ENK UK, Profesor Nirmal Kumar menjelaskan parosmia adalah gejala aneh dan unik pada pasien COVID-19. Pasien yang terinfeksi virus Corona biasanya menghirup aroma belerang dan benda terbakar lainnya sehingga mengganggu penciuman.


"Virus ini memiliki keterkaitan dengan saraf di kepala dan khususnya, saraf yang mengontrol indra penciuman. Mungkin memengaruhi saraf lain juga, seperti neurotransmiter yang mengirim pesan ke otak," ujar Profesor Kumar.


Apa saja yang perlu diketahui tentang parosmia?


Dikutip dari Healthline, berikut fakta-fakta parosmia.


1. Gejala parosmia

Dalam kasus yang parah, parosmia dapat menyebabkan pengidapnya merasa sakit secara fisik saat mendeteksi bau yang kuat dan tidak sedap. Gejala utamanya adalah merasakan bau busuk yang terus-menerus, terutama saat makanan akibat kerusakan neuron penciuman.

https://movieon28.com/movies/men-in-hope/


2. Penyebab parosmia

Parosmia biasanya terjadi setelah neuron pendeteksi bau di hidung rusak karena terinfeksi virus maupun kondisi kesehatan lainnya. Kerusakan neuron ini mengubah penafsiran bau yang diterima bulbus olfaktorius di mana fungsinya adalah untuk penciuman, sensitivitas deteksi bau, atau menyaring bau.


Selain karena virus, parosmia juga disebabkan beberapa hal di antaranya cedera kepala, paparan asap rokok dan bahan kimia, efek samping pengobatan kanker, dan tumor.


3. Diagnosis parosmia

Parosmia dapat didiagnosis oleh ahli THT, yang mungkin memberikan zat berbeda lalu meminta pasien menjelaskan aromanya dan menentukan peringkat kualitasnya. Beberapa hal juga akan diperiksa dokter termasuk riwayat kanker dan kondisi neurologis keluarga, infeksi yang baru dirasakan, gaya hidup, dan konsumsi obat-obatan.


Pengujian lebih lanjut melalui rontgen sinus, biopsi daerah sinus, atau MRI juga mungkin dilakukan.


Pengobatan dan pemulihan parosmia bisa disimak di halaman berikutnya.


4. Pengobatan parosmia

Pada beberapa kasus parosmia dapat diobati, namun tidak semuanya. Jika parosmia disebabkan oleh faktor lingkungan, pengobatan kanker, atau merokok, kemampuan mencium dapat kembali normal setelah pemicunya dihilangkan.

Terkadang pembedahan diperlukan guna mengatasi parosmia. Perawatan untuk parosmia meliputi penjepit hidung untuk mencegah bau masuk ke hidung, konsumsi zinc, vitamin A, dan antibiotik.


Beberapa orang dengan parosmia menemukan gejalanya mereda dengan melatih penciuman melalui berbagai aroma setiap pagi. Meski begitu, pemeriksaan dokter dianjurkan guna mengobati kondisi ini.


5. Pemulihan parosmia

Kondisi parosmia biasanya tidak permanen. Neuron dapat membaik seiring berjalannya waktu. Waktu pemulihannya pun berbeda sesuai dengan penyebab, gejala, dan pengobatan yang dijalani.


Jika parosmia disebabkan oleh virus atau infeksi, indra penciuman dapat kembali normal tanpa pengobatan. Namun pemulihannya membutuhkan waktu antara dua hingga tiga tahun.


Penelitian pada 2009 menunjukkan bahwa 25 persen orang yang melatih penciuman selama 12 minggu dapat mengurangi gejala parosmia mereka. Tetapi perlu ada lebih banyak penelitian mendalam untuk memahami apakah jenis perawatan tersebut efektif.

https://movieon28.com/movies/four-flies-on-grey-velvet/