Senin, 01 Februari 2021

Lagi Heboh soal Buzzer, Berapa Sih Kira-kira Bayarannya?

 Belakangan ini nama Permadi Arya alias Abu Janda kembali jadi buah bibir terkait buzzer. Selain itu, Abu Janda terkait dugaan rasis terhadap mantan anggota Komnas HAM Natalius Pigai dan cuitannya tentang 'Islam Arogan'.

Sebelum kasus-kasus tersebut, Abu Janda sudah kerap menuai kontroversi di media sosial. Keberaniannya bersuara di medsos dilirik oleh tim sukses Jokowi. Ia kemudian direkrut menjadi influencer di medsos atau yang kerap dikenal buzzer selama kampanye pemilihan presiden lalu. Selama jadi buzzer, ia mengaku menerima penghasilan yang tidak sedikit.


"Saya direkrut 2018 dengan gaji bulanan, gede lo," ujar Abu Janda kepada tim Blak-blakan detikcom, Jumat (29/1/2021).

https://movieon28.com/movies/fools-gold/


Lalu, berapa sih rata-rata duit yang masuk ke kantong buzzer?


Sebelumnya, detikcom pernah mewawancarai seorang buzzer. Berdasarkan wawancara tersebut diketahui dia pernah terlibat dalam giring-menggiring opini.


Narasumber yang enggan menyebut identitasnya ini mengaku terlibat menjadi buzzer sejak 2016. Sejak menjadi buzzer, sejumlah klien pernah ia tangani, dari mulai menggiring isu untuk perusahaan hingga kasus hukum kopi bersianida Jesicca-Mirna. Puncak karirnya jadi buzzer ialah saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta.


Cara kerjanya, sang bos akan menerima order dari klien, atau bisa saja dari tim yang lebih besar untuk event tertentu. Kemudian, order itu dijalankan oleh buzzer. Selanjutnya, mereka akan memperoleh pendapatan dari kerjanya tersebut dengan beragam indikator sejauh mana isu itu menyebar.


Mengenai pembayaran, dia mengaku biasa mendapat gaji bulanan layaknya pegawai kantoran.


"Kalau sistem bisnisnya kerja aja, bayar gaji bulanan, per project. Tapi biasanya bulanan. Jadi si klien 'nanti gue bayar sebulan', all in, budget segini lu bikin tim. tergantung kebutuhan sih," terangnya kepada detikcom, Selasa (2/4/2019).


Sedangkan untuk nominal pembayarannya atau nilai order bergantung pada besar kecilnya isu hingga tenaga yang dikerahkan. Dia mengaku tak bisa merinci nilai order yang biasa diterima oleh atasannya.


Meski demikian, dia memperkirakan Rp 50 juta hingga Rp 100 juta untuk tiap proyek isu.


Kemudian uang tersebut akan dibagi-bagikan menjadi gaji untuk para buzzer. Untuk pekerja lapis bawah biasa menerima gaji sebesar UMR per bulan, sedangkan dia yang bertindak sebagai koordinator menerima upah lebih besar.


"Kalau tim nggak terlalu tahu pasti, karena yang pegang bos gue, waktu itu gue koordinator doang. Tergantung isu, tapi rata-rata Rp 50 juta- Rp 100 juta, sampai man power 10 orang. Nanti per orang UMR lah, Rp 3,5 juta-Rp 5 juta lah kalau buat yang di bawah. (Kalau koordinator?) Gue kemarin Rp 6 juta," paparnya.


Bagaimana dengan bayaran buzzer di luar negeri?


Serupa dengan di Indonesia, bayaran buzzer di luar negeri juga cukup fantastis. Mengutip situs SimplyHired, bayaran terendah seorang buzzer profesional di seluruh dunia bisa mencapai mencapai US$ 32.319 per tahun atau setara Rp 425,4 juta (kurs Rp 14.000/US$). Per bulannya, seorang buzzer profesional bisa menerima penghasilan sebesar Rp 37,7 juta.


Sedangkan, penghasilan rata-rata seorang buzzer profesional di seluruh dunia bisa mencapai US$ 71.691 per tahun atau sekitar Rp 1 miliar per tahun (kurs Rp 14.000/US$). Dengan kata lain, setiap bulannya seorang buzzer profesional bisa menerima penghasilan sebesar Rp 83,6 juta. Lalu, bayaran tertinggi yang bisa diterima seorang buzzer profesional bisa mencapai US$ 159.023 per tahun setara Rp 2,22 miliar atau Rp 185,5 juta per bulan.

https://movieon28.com/movies/unfriended-dark-web/

Merger Bank Syariah dan Ambisi Menjadi Bank Kelas Dunia

 Di Indonesia, ada kata klise membosankan yang sering diucapkan oleh para pemangku kebijakan ekonomi terkhusus pada sektor industri keuangan syariah. Kata itu adalah potensi. Ya, kata potensi sering diucapkan sebagai upaya menggambarkan sebuah peluang yang bisa diraih di masa depan. Khusus di sektor keuangan syariah, kata potensi sudah menggaung lebih dari dua dekade silam, sebagai bentuk optimisme pemerintah yang ingin membangun ekosistem syariah yang lebih baik.

Hingga saat ini, kata potensi masih dijadikan sebagai iming-iming untuk menunjukkan kondisi perbankan syariah dalam negeri yang dianggap mampu memberikan multiplier effect bagi sektor rill dalam negeri. Tapi sekali lagi, potensi adalah persoalan harapan dan prediksi, semua bergantung pada eksekusi pemangku kebijakan.


Sejak eksistensi Bank Muamalat yang mampu bertahan dari terpaan krisis tahun 1998, bank syariah menjadi industri keuangan yang mulai menjadi primadona pemerintah untuk membangun ekosistem permodalan berbasis syariah. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 250 juta dan komposisi masyarakat muslim mendominasi lebih dari 85%, tidak heran jika pemerintah berpikiran bahwa industri perbankan syariah akan menemui prospek cerah ke depannya.


Optimisme yang digaungkan bukan tanpa alasan. Secara global, potensi industri keuangan syariah memang mencapai Rp 30.000 triliun. Sementara Indonesia dengan masyarakat muslim terbanyak dunia memiliki potensi sebesar Rp 3.000 triliun.


Gambaran besar potensi tersebut juga ditunjukkan melalui berbagai laporan dan survei dari lembaga internasional. Berdasarkan Laporan Islamic Financial Services Board (IFSB), aset perbankan syariah Indonesia berada di peringkat ke-9 terbesar secara global mencapai USD 28,08 miliar.

https://movieon28.com/movies/unfriended/


Berdasarkan Global Islamic Finance Report 2017, aset keuangan syariah menempati peringkat ke-10 secara global, mencapai USD 66 miliar, dan Islamic Finance Country Index meningkat 6 pada 2018, dari 7 pada 2017. Bahkan pada 2019 lalu, peringkat Islamic Finance Development Indicators (IFDI) Indonesia naik ke posisi 4, dengan torehan aset yang tumbuh sebesar 3% dari USD 2,4 triliun pada 2017 menjadi USD 2,5 triliun pada 2018.


Semua catatan itu pun membuat pemerintah Indonesia bernafsu untuk bersaing secara global dengan ingin menghadirkan sebuah bank berkelas dunia. Melalui Kementerian BUMN, pemerintah berencana menghadirkan bank syariah BUMN yang berasal dari merger 3 bank umum syariah yang telah ada. Ketiga bank tersebut adalah Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah.


Tapi apakah semua catatan asing itu relevan dengan kinerja rill perbankan syariah dalam negeri? Dan, apakah rencana melakukan merger 3 bank umum syariah ini merupakan langkah yang positif?


Kualitas Kinerja


Meski menunjukkan catatan statistik yang cukup meyakinkan, tapi hal tersebut tidak dibarengi dengan kualitas kinerja dari industri perbankan syariah di sektor rill. Selama kurun waktu hampir 30 tahun berdiri, market share perbankan syariah hanya berkutat di angka 5 persenan dari keseluruhan market share perbankan secara nasional. Terbaru, pada 2020 ini, market share perbankan syariah mentok di angka 5,99 persen.


Ironisnya, capaian market share perbankan syariah Indonesia itu terlihat begitu jomplang dengan negara tetangga Malaysia yang market share perbankan syariahnya rata-rata di angka 50 persen lebih per tahun.


Imbasnya ketika market share perbankan syariah hanya berkutat pada angka 1 digit, kinerja keuangan perbankan syariah dalam negeri pun jadi tidak begitu mentereng, biasa-biasa saja tanpa progresivitas yang signifikan.


Bila dilihat dari data yang dirilis oleh OJK dalam laporan Statistik Perbankan Syariah, rasio kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan yang dilihat dari persentase Return on Assets (ROA) pun sejak 2015 hingga 2018 selalu menunjukkan persentase di bawah 1 persen. Barulah pada 2019 ROA-nya menyentuh 1,72 % persen pada Desember. Padahal, standar presentasi ROA yang dirilis oleh BI harus lebih dari 1.5 persen jika ingin dianggap sebagai bank yang berkinerja efektif dalam meraup keuntungan.

https://movieon28.com/movies/gold/