Sabtu, 20 Maret 2021

Orang Indonesia Disebut Jarang Gosok Gigi Selama Pandemi, Ini Bahayanya

 Selama pandemi COVID-19, orang Indonesia disebut malah semakin malas menyikat gigi. Sistem Work from Home membuat banyak orang menyepelekan pentingnya sikat gigi. Tak lain, karena tak banyak berinteraksi tatap muka dengan orang lain.

Menurut Head of Sustainable Living Beauty & Personal Care and Home Care Unilever Indonesia Foundation, drg Ratu Mirah Afifah, GCClindent, MDSc, setahun pandemi membuat masyarakat semakin melek soal pentingnya kesehatan fisik dan mental.


Namun ia menyayangkan, 50 persen responden survei mengaku malas menyikat gigi. Padahal, mulut adalah "pintu gerbang" masuknya kuman dan virus penyebab penyakit.


"Sebelum pandemi, orang kurang memperhatikan. Tapi ketika pandemi, lebih berat lagi. Sudah 1 tahun pandemi menyebabkan permasalahan di kesehatan gigi dan mulut. Hasil di Indonesia menunjukkan, 73 persen mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut," ujarnya, Jumat (19/3/2021).


Menurut dr Mirah, masalah yang paling sering muncul setahun terakhir ini adalah mulut kering, bau mulut (halitosis), gusi berdarah saat sikat gigi, dan nyeri pada gigi dan gusi.


Dipaparkannya, 30 persen responden mengaku pernah melewati 1 hari penuh tanpa menyikat gigi.


Ketua Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Dr drg R.M Sri Hananto Seno, SpBM(K). MM menambahkan, jika gigi tidak disikat selama 24 jam, akan terjadi fermentasi mikroorganisme di plak gigi. Hal inilah yang menyebabkan peradangan pada gusi.


"Peradangan akan tinggi jika COVID-19 masuk ke dalam peradangan ini. Lebih ganas 3 kali lipat penyebaran, lebih cepat ke pembuluh darah. Gigi dan mulut kalau tidak bersih, akan mempercepat perkembangbiakan mikroorganisme," ujar dr Seno.

https://trimay98.com/movies/the-house-of-red-and-white/


COVID-19 Diprediksi Jadi Penyakit Musiman, Ini Kata PBB


 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperkirakan Corona akan berkembang menjadi penyakit musiman. Namun, mereka memperingatkan bahwa pelonggaran tindakan terhadap pandemi tidak bisa hanya berdasarkan pada faktor meteorologi semata.

Setelah lebih dari setahun virus Corona pertama kali muncul di China, banyak misteri yang masih menyelimuti penyebaran penyakit yang telah menewaskan hampir 2,7 juta orang di seluruh dunia itu.


Dalam laporan pertamanya, tim ahli mencoba menjelaskan salah satu misteri tersebut dengan memeriksa potensi pengaruh meteorologi dan kualitas udara pada penyebaran virus Corona. Mereka menemukan beberapa indikasi penyakit tersebut akan berkembang menjadi ancaman musiman.


Tim Organisasi Meteorologi PBB yang beranggotakan 16 orang menunjukkan bahwa infeksi virus pernapasan seringkali bersifat musiman. Khususnya pada puncak musim gugur-dingin untuk influenza dan musim dingin untuk virus Corona di daerah iklim sedang.


"Ini memicu prediksi bahwa, jika terus berlanjut selama bertahun-tahun, COVID-19 akan terbukti menjadi penyakit musiman yang kuat," tulis dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari The Straits Times, Jumat (19/3/2021).


Selain itu, studi pemodelan mengantisipasi bahwa penularan virus SARS-CoV-2 bisa menjadi musiman seiring waktu. Tetapi, dinamika penularan COVID-19 sejauh ini lebih banyak dipengaruhi intervensi pemerintah, seperti wajib menggunakan masker dan pembatasan perjalanan daripada cuaca.


Hal ini membuat tim tugas bersikeras bahwa cuaca dan kondisi iklim saja tidak boleh menjadi rujukan untuk melonggarkan pembatasan COVID-19.


"Pada tahap ini, bukti tidak mendukung penggunaan faktor meteorologi dan kualitas udara sebagai dasar bagi pemerintah untuk melonggarkan tindakan untuk mengurangi transmisi," jelas ketua tim tugas Ben Zaitzchik dari departemen ilmu bumi dan planet di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat.


Zaitzchik menunjukkan bahwa selama tahun pertama pandemi, infeksi di beberapa tempat meningkat pada musim panas. Dan sampai saat ini belum ada bukti bahwa kondisi seperti itu tidak bisa terjadi lagi di tahun mendatang.

https://trimay98.com/movies/hit-and-run-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar