Jumat, 14 Mei 2021

RS Gaza Kewalahan Tangani Korban Konflik di Tengah Pandemi COVID-19

  Sistem kesehatan di Jalur Gaza sejak awal sudah kewalahan menghadapi pandemi COVID-19. Di tengah ancaman gelombang kedua virus Corona, rumah sakit (RS) kini semakin terbebani akibat kebanjiran pasien korban konflik antara Israel dan Palestina yang memanas.

Sudah lebih dari 580 orang di Palestina dilaporkan terluka dengan 113 di antaranya meninggal dunia akibat serangan udara tentara Israel.


Para tenaga kesehatan yang sejak awal pandemi sudah kelelahan kini harus bekerja ekstra keras untuk merawat korban. Di Rumah Sakit Indonesia korban dilaporkan memenuhi lorong-lorong setelah bom jatuh di dekat lokasi.


"Sebelum ada serangan militer, kami sudah serba kekurangan dan nyaris tidak sanggup menghadapi gelombang kedua Corona," kata pejabat Kementerian Kesehatan Gaza, Abdelatif al-Hajj, seperti dikutipd ari Euronews pada Jumat (14/5/2021).


"Sekarang korban berdatangan dari segala arah, korban yang benar-benar kritis. Saya khawatir akan terjadi kolaps total," lanjutnya.


Baru akhir bulan lalu kasus harian COVID-19 dan kematian di jalur Gaza mencetak rekor tertinggi. Tes yang terbatas hanya bisa memantau lebih dari 105.000 kasus terkonfirmasi dan 976 kematian karena COVID-19.

https://movieon28.com/movies/scary-movie-2/


Panel WHO Sebut Pandemi COVID-19 Harusnya Bisa Dicegah, Lalu Kenapa Menyebar?


The Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response (IPPR), yang dibentuk oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan pandemi COVID-19 seharusnya dapat dicegah. Namun, kurangnya kesiapsiagaan membuat virus ini menjadi cepat menyebar.

Dalam laporannya, IPPR menemukan berbagai masalah dalam penanganan COVID-19. Salah satunya WHO dianggap telat dalam mengumumkan keadaan darurat global, padahal sejumlah laporan kasus awal sudah ada sejak Desember 2019.


"Situasi yang kita hadapi hari ini sebenarnya bisa dicegah," kata Ellen Johnson Sirleaf, ketua bersama IPPR, dikutip dari BBC.


"Ini karena banyak sekali kegagalan, kesenjangan, dan penundaan dalam kesiapsiagaan dan respons," ujarnya.


Kemudian IPPR juga menganggap pemerintah di berbagai negara terlalu membuang-buang waktu dalam penanganan COVID-19. Mereka tidak segera memberlakukan pembatasan perjalanan ketika wabah virus Corona di China melonjak dan baru bertindak ketika rumah sakit mulai penuh.


Ketika negara-negara seharusnya mempersiapkan sistem fasilitas kesehatan mereka untuk masuknya pasien COVID-19, sebagian besar negara tersebut justru malah berebut peralatan pelindung dan obat-obatan.

Kepemimpinan politik global tidak ada," ucap IPPR, dikutip dari NPR.


"Kombinasi pilihan strategis yang buruk, keengganan untuk mengatasi kesenjangan, dan sistem yang tidak terkoordinasi menciptakan 'campuran beracun' yang memungkinkan pandemi berubah menjadi bencana krisis manusia," jelasnya.


Kini COVID-19 telah merenggut nyawa lebih dari 3,3 juta orang di dunia.


IPPR pun mengungkap adanya masalah sistemik, WHO tidak memiliki kekuatan untuk menyelidiki dan bertindak cepat ketika dihadapkan pada potensi wabah.


"Misi ahli teknis dapat dikirim ke masing-masing negara hanya dengan izin mereka, dan sistem pra-otorisasi misi belum ditetapkan," kata IPPR.


"Seringkali negosiasi berjalan sangat panjang dengan pemerintah setempat untuk mendapatkan akses untuk melakukan misi yang diperlukan setelah wabah diberitahukan," tambahnya.


Untuk mencegah pandemi berikutnya, IPPR mendesak pembentukan Dewan Ancaman Kesehatan Global dan sistem pengawasan wabah transparan. Masing-masing negara pun diminta untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi krisis berikutnya.

https://movieon28.com/movies/scary-movie/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar