Sabtu, 16 Mei 2020

Ilmuwan: Lockdown Dibuka, Semua Jadi Eksperimen Corona

Upaya lockdown di berbagai negara adalah untuk meminimalisir penularan COVID-19. Kini setelah lockdown mulai dilonggarkan, warga pun menjadi semacam partisipan dalam eksperimen tentang bagaimana situasi yang akan terjadi pasca lockdown.
Ilmuwan di Inggris memperingatkan melonggarkan lockdown terlalu cepat dalam fase 'eksperimen' ini bisa menyebabkan gelombang kedua paparan virus Corona. Karena itu, pembukaan lockdown harus dilakukan dengan hati-hati dan terukur.

"Kita melonggarkan hal-hal yang kita anggap aman dulu dan kemudian mengawasinya dengan sangat hati-hati," kata Dr Mike Tildelsey, akademisi dari University of Warwick, Inggris.

"Seiring kita memasuki fase ini, kita adalah 'hewan percobaan'. Tapi seiring fase ini berjalan, kita akan lebih memahami seberapa efektif," tambahnya.

Dikutip detikINET dari BBC, Dr Mike menyarankan toko atau bisnis hanya bisa dibuka jika sosial distancing dapat dilakukan. Kemudian mereka yang bisa bekerja dari rumah sebaiknya meneruskannya. Sementara orang tua yang rentan tetap harus lebih dilindungi.

Lockdown dipercaya meminimalisir penularan COVID-19. Sekarang setelah ada kelonggaran, perlu diketahui nantinya seberapa tinggi kontak sosial yang bisa dilakukan untuk menjaga agar Corona bisa tetap dikendalikan.

"20 sampai 30% peningkatan kontak antar orang adalah maksimum. Vaksin masih lama. Saat ini, kita perlu sebanyak mungkin orang bisa beradaptasi," kata Profesor Azra Gahni dari Imperial College London.

Fase eksperimen ini memang tidak dikendalikan ilmuwan dan benar-benar melibatkan dunia nyata. Maka sebelum dapat diketahui hasilnya, orang harus tetap menjaga diri, tidak berbuat sembarangan.

"Ini tentang nyawa, harus ada keseimbangan soal risiko penyakit ini dan bagaimana menjalani hidup sehari-hari. Kita bisa mencapai hal itu selama orang bersikap sosial secara bertanggung jawab," kata Profesor Gahni.

Pasien Corona Disebut Alami 'Pneumatosis', Kondisi Apa Itu?

 Virus Corona COVID-19 saat ini hampir menginfeksi 5 juta orang di seluruh dunia. Gejalanya pun dilaporkan tak lagi hanya demam dan batuk kering.
Mulai dari gangguan indra perasa dan pencium hingga menggigil diidentifikasi sebagai gejala virus Corona. Bahkan sebelumnya para ilmuwan mengungkap sakit perut perlu diwaspadai sebagai tanda 'tersembunyi' dari adanya infeksi virus Corona COVID-19.

Virus Corona diyakini dapat menyebabkan beberapa gejala pencernaan. Orang yang mengalami diare diyakini menjadi tanda awal terinfeksi virus Corona COVID-19.

Namun kini mereka mengungkap bahwa sejumlah pasien Corona juga mengalami kondisi yang dikenal dengan pneumatosis. Kondisi tersebut merupakan kondisi di mana gas menumpuk di dinding usus.

Mengutip Express, pneumatosis disebut dapat menyebabkan sejumlah gejala yang tak diinginkan termasuk sembelit dan sakit perut. Pasien Corona dengan pneumatosis dikatakan memiliki gejala serius dan cenderung lebih banyak langsung dilarikan ke rumah sakit, menjalani perawatan intensif.

"Kami menemukan kelainan usus pada pencitraan pada pasien dengan COVID-19, lebih umum pada pasien yang sakit yang pergi ke unit perawatan intensif," kata dr Rajesh Bhayana, peneliti dari Rumah Sakit Umum Massachusetts, di Boston, AS.

"Pasien di ICU dapat menderita iskemia usus karena alasan lain, tetapi kita tahu COVID-19 dapat menyebabkan pembekuan dan cedera pembuluh kecil, sehingga usus juga mungkin terkena dampaknya," lanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar