Masa depan 5G di Indonesia sempat terlihat dengan dibukanya lelang frekuensi 2,3 GHz. Namun, baru-baru ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menganulir frekuensi 5G tersebut.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyusun roadmap (peta jalan) Penerapan teknologi jaringan 5G di Indonesia.
"Saya sedang menyiapkan, ini bukan janji tapi seharusnya memang sedang menyiapkan deployment 5G," ujar Menkominfo,
Disampaikannya, ada banyak faktor yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah penataan spektrum frekuensi, karena teknologi 5G, menurut Menkominfo, perubahan teknologi informasi digital yang begitu luar biasa.
"5G merupakan revolusi sinyal sistem atau fast evolution dari digital. Oleh karena itu, Pemerintah memerlukan tersedianya spektrum frekuensi yang cukup. Untuk 5G saja, kita harus melakukan farming spektrum frekuensi sebanyak 1.800 Mhz dan khususnya di frekuensi 2,3 Ghz, 2,5 Ghz, 2,6 Ghz, 3,3 Ghz, dan 3,6 Ghz," jelasnya.
Lelang Frekuensi 2,3 Dibuka
Pada 20 November 2020, Kominfo menyatakan membuka lelang frekuensi 2,3 GHz rentang 2360 - 2390 MHz untuk keperluan penyelenggaraan jaringan bergerak seluler. Seleksi itu bagian upaya pemerintah mendukung transformasi digital di sektor ekonomi, sosial, dan pemerintahan, karena masih terdapat blok frekuensi radio yang saat ini belum ditetapkan pengguna pita frekuensi radio.
Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kapasitas jaringan bergerak seluler, meningkatkan kualitas layanan secara maksimal, serta mendorong akselerasi penggelaran infrastruktur TIK dengan teknologi generasi kelima (5G).
Usai dibuka, tercatat ada lima operator seluler yang ikut bertarung, yaitu Hutchison 3 Indonesia (Tri), Indosat Ooredoo, Smartfren, Telkomsel, dan XL Axiata. Kelima operator merebutkan tiga blok di spektrum ini.
https://nonton08.com/movies/bitcoin-heist/
Google Ancam Minggat, Australia Lirik Microsoft Bing
- Google mengancam angkat kaki dari Australia jika dipaksa untuk membayar konten berita yang ditampilkan di halaman pencariannya. Sebagai alternatif, Microsoft percaya diri mesin pencari Bing buatannya bisa menjadi pengganti Google.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan ia sudah berbicara dengan CEO Microsoft Satya Nadella tentang kebijakan baru ini. Saat berbicara dengan reporter di Canberra, Australia, Morrison mengatakan Microsoft yakin bisa memperluas kehadiran Bing di negaranya.
"Saya bisa mengatakan kepada kalian, Microsoft cukup percaya diri, saat saya bicara dengan Satya," kata Morrison, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (2/2/2021).
"Kami hanya ingin aturan di dunia digital sama dengan yang ada di dunia nyata, di dunia fisik," sambungnya.
Mesin pencari Google saat ini merupakan penguasa pasar mesin pencari di Australia dengan pangsa pasar 94%. Meski Bing berada di posisi kedua, pangsa pasarnya sangat kecil hanya sebesar 3%.
Seperti diketahui, Australia mengenalkan regulasi baru yang memaksa raksasa internet seperti Google dan Facebook untuk membayar perusahaan media Australia secara adil setelah menampilkan tautan atau cuplikan berita di hasil pencarian.
Saat ini tidak ada rencana aturan yang mengharuskan mesin pencari yang lebih kecil seperti Bing atau DuckDuckGo untuk ikut membayar, tapi pemerintah Australia belum menanggalkan opsi itu sepenuhnya.
Sementara itu, juru bicara Microsoft mengonfirmasi pembicaraan antara perusahaan dengan pemerintah Australia. Tapi mereka menolak untuk berkomentar karena tidak terlibat langsung dengan aturan tersebut.
"Kami memahami pentingnya sektor media yang dinamis dan jurnalisme kepentingan publik dalam demokrasi dan kami menyadari tantangan yang dihadapi sektor media selama bertahun-tahun melalui perubahan model bisnis dan preferensi konsumen," kata juru bicara Microsoft.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar