Selasa, 02 Juni 2020

Digunakan Dwi Sasono, Ini Efek yang Bisa Ditimbulkan Ganja Pada Otak

 Polisi mengungkap motif aktor Dwi Sasono menggunakan ganja. Dwi Sasono menggunakan ganja untuk mengisi kekosongan waktu di tengah pandemi COVID-19.
"Motif yang dia sampaikan ke penyidik yang pertama. Mengisi kekosongan waktu, tersangka ini susah tidur beberapa bulan. Ini dengan kegiatan COVID-19 ini dia diam di rumah. Dia memanfaatkan waktu melakukan hal yang salah," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Polres Jakarta Selatan, Senin (1/6/2020).

Yusri mengatakan hasil pemeriksaan awal, Dwi Sasono sudah menggunakan ganja selama satu bulan.

Dirangkum detikcom, ada beberapa efek yang bisa ditimbulkan ganja pada otak.

1. Gejala psikosis
Beberapa studi menghubungkan penggunaan ganja dengan peningkatan kejadian psikosis, istilah medis untuk kumpulan gejala hilangnya persepsi dengan dunia nyata. Contoh dari hal ini seperti halusinasi atau paranoia.

Dalam sebuah analisis yang dipublikasi di jurnal Schizophrenia Bulletin, peneliti melihat 67 ribu orang dan menemukan mereka yang rutin menggunakan ganja lebih mungkin untuk didiagnosa dengan kondisi kesehatan mental. Satu kondisi yang disebut adalah schizophrenia.

"Secara garis besar, bukti dari studi-studi epidemiologi memberikan bukti kuat yang memperingatkan sebagai pesan kesehatan publik bahwa ganja bisa meningkatkan risiko untuk gangguan psikotik," tulis laporan peneliti dalam jurnal Biological Psychiatry tahun 2016.

2. Mempengaruhi IQ
Studi terbaru yang diterbitkan di Jurnal JAMA Internal Medicine mengatakan kebiasaan menghisap ganja saat remaja membuat otak melemah di hari tua. Akibatnya, kemampuan mengingat dan kecepatan berpikir otak semakin menurun.

"Studi dilakukan kepada semua kalangan, pria dan wanita, kulit hitam dan putih, pendidikan tinggi dan rendah. Hasilnya sama, penggunaan ganja saat remaja akan berdampak pada otak di kalau tua," tutur Dr Reto Auer yang melakukan penelitian, dikutip dari CNN.

Studi lain di Selandia Baru menunjukkan hal yang sama. Mereka yang menggunakan ganja mengalami penurunan IQ (Intelligence quotient) secara signifikan. Bahkan penggunaan ganja juga berpengaruh terhadap prestasi sekolah.

Hasil studi menemukan mereka yang menggunakan ganja sebelum berumur 17 tahun memiliki risiko 60 persen tidak menyelesaikan pendidikan. Selain itu, mereka juga 7 kali lebih berisiko melakukan bunuh diri dan 8 kali lebih berisiko menggunakan obat terlarang lain di kemudian hari.

3. Perubahan volume otak
Menggunakan ganja dalam jangka panjang kemungkinan dapat mengubah volume otak seperti disebut dalam studi tahun 2014 di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Setidaknya pada 48 orang dewasa yang menggunakan ganja tiga kali dalam sehari selama sembilan tahun, otak mereka punya volume massa abu-abu (gray matter) yang lebih sedikit.

4. Pengaruhi sistem reward otak
Sistem reward otak adalah bagian yang mengatur respon rasa senang, puas, dan keinginan seseorang terhadap sesuatu. Sebagai contoh misalnya rasa senang mengkonsumsi coklat, mendapat pujian, dan masih banyak lagi.

Ganja dalam hal ini dilihat oleh studi memengaruhi sistem reward otak cukup besar. Hasil pemindaian otak pada partisipan yang telah menggunakan ganja selama rata-rata 12 tahun menunjukkan aktivitas sistem yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain umumnya ketika melihat hal yang berhubungan dengan ganja.

"Studi ini menunjukkan bahwa ganja mempengaruhi sistem reward alami otak dan membuatnya sebagai hal yang sangat penting untuk pengguna berat," kata dr Francesca Filbey dalam laporannya di jurnal Human Brain Mapping 2016.

Dokter Italia Sebut Virus Corona COVID-19 Semakin 'Lemah'

Seorang dokter senior di Italia, Alberto Zangrillo, mengatakan virus Corona baru sudah kehilangan potensinya. Dokter sekaligus kepala Rumah Sakit San Raffaele di Milan ini mengatakan virus penyebab COVID-19 kini tidak semematikan saat awal-awal menyebar.
"Pada kenyataannya, virus ini secara klinis tidak ada lagi di Italia. Dari tes swab yang dilakukan selama 10 hari terakhir ini menunjukkan viral load secara kuantitatif hasilnya sangat kecil, dibandingkan dengan 1-2 bulan lalu," ujarnya yang dikutip dari Reuters, Senin (1/6/2020).

Italia sempat memiliki angka kematian akibat COVID-19 tertinggi kedua di dunia, sebanyak 33.415 sejak 21 Februari 2020 lalu. Selain itu, Italia juga menjadi negara dengan jumlah kasus global terbanyak keenam yaitu 233.019.

Meski jumlah kasus infeksi dan kematian telah menurun drastis di bulan Mei dan pembatasan wilayah sudah dibuka, Zangrillo mengatakan masih ada beberapa ahli yang khawatir akan adanya gelombang kedua. Tetapi, menurutnya negara tersebut harus segera kembali jadi negara yang normal.

Selain Zangrillo, dokter lain dari Italia Utara juga mengungkapkan hal yang sama. Ia melihat bahwa virus Corona baru ini kekuatannya semakin menurun.
https://nonton08.com/cast/cobie-smulders/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar