Senin, 16 Maret 2020

Apa Bedanya Hipotermia, Frostbite dan Altitude Sickness?

Hiportemia, frostbite dan altitude sickness adalah 3 hal yang berbahaya dalam pendakian. Mari kenali masing-masingnya.

"Saya pikir, masih banyak pendaki yang salah mengartikan hiportemia, frostbite dan altitude sickness," kata Tjahjadi Nurtantio, guide pendakian gunung dari DAKS Die Welt der Berge (German Alpine and Climbing School), operator wisata minat khusus dari Jerman kepada detikTravel, Selasa (8/1/2019).

Pertama hipotermia, Tjahjadi menjelaskan hipotermia adalah saat suhu tubuh turun sampai di bawah 37 derajat Celcius (suhu tubuh normal manusia), karena kedinginan akibat cuaca seperti dari suhu, hujan dan angin . Pun sama dengan frostbite yang terjadi karena kedinginan, tapi ada bedanya.

"Hipotermia itu menyerang suhu tubuh secara keseluruhan, tapi kalau frostbite itu hanya bagian tubuh tertentu khususnya yang terbuka dan kurang terlindungi seperti jari tangan dan kaki, hidung, kuping, dagu dan pipi," terangnya.

Frostbite adalah kondisi di mana jaringan tubuh membeku. Ketika membeku, pendaki yang terkena frostbite tidak akan merasakan apa-apa seolah tidak ada alarm peringatan dari tubuh. Makanya, harus proaktif mengecek keadaan tubuh secara teratur sebelum terlambat.

"Dulu memang diamputasi tapi sekarang tidak. Akan dibiarkan tubuh melepas jaringan sel mati tersebut, ibaratnya kulit mati tapi ini yang lepas bukan cuma kulit melainkan contoh sepotong jari. Proses diawali oleh dokter kadang dengan terapi antibiotik untuk mencegah infeksi. Yang sudah pasti, pain killer dosis tinggi karena proses ini menimbulkan rasa sakit yang hebat," papar Tjahjadi.

Jika terkena frostbite, langkah yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bagian tubuh tersebut dengan air hangat yang bersuhu 40 derajat Celsius. Jangan terlalu panas airnya, karena justru dapat membuat luka semakin parah.

"Frostbite biasanya terjadi saat pendakian di gunung-gunung yang suhunya mencapai minus belasan derajat Celcius. Di Indonesia kasus frostbite sangat jarang karena tidak begitu dingin. Mungkin kalau di Carstensz bisa terkena frostbite, karena teoritis ya sebab suhu di sana sangat dingin," terang Tjahjadi.

"Hipotermia dapat menyebabkan frostbite. Tapi, terkena frostbite belum tentu hipotermia," tambahnya.

Sedangkan altitude sickness, adalah kondisi dimana tubuh pendaki kekurangan oksigen dan menerima tekanan udara yang hebat saat berada di ketinggian. Sama seperti hipotermia, altitude sickness dapat membuat seseorang meninggal dunia.

"Altitude sickness membuat gelembung paru-paru (alveolus) bocor. Hingga menyebabkan akumulasi cairan pada otak dan paru-paru (pulmonary edema dan cerebral edema), ringkasnya paru-paru dan otak terisi air dari bocornya gelembung paru-paru tersebut," paparnya.

"Kalau airnya sudah sampai otak, 40 persen itu meninggal. Kalau airnya di paru-paru, 25 persen itu meninggal," kata Tjahjadi.

Gejala altitude sickness beberapa di antaranya seperti mual, tidak nafsu makan dan sakit kepala. Jika gejalanya sudah terlihat, maka sebaiknya dibawa turun sejauh 500 meter dari titik terakhirnya. Supaya tubuh bisa pelan-pelan dapat beradaptasi di ketinggiannya.

"Mulai ketinggian 2.500 mdpl, itu bisa menimbulkan altitude sickness," ujarnya.

Namun Tjahjadi menjelaskan, hiportemia, frostbite dan altitude sickness dapat dihindari para pendaki gunung. Tentu, dengan perencanaan dan persiapan yang matang. Juga alangkah baiknya, para pendaki menambah wawasan mengenai pendakian gunung dan risiko-risikonya.

"Naik gunung itu baiknya harus pintar. Kita sudah pelajari dulu segala hal sebelum mendaki karena naik gunung itu bukan mau mencari mati," pungkas Tjahjadi yang juga co-founder CSVakansi, operator wisata minat khusus di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar