Senin, 02 Maret 2020

Inilah Karst Terbesar Ketiga Sedunia di Sulawesi (2)

Lanjut, ada Kampung Berua. Tidak banyak yang saya eksplor saat berada di sini. Kami mampir sekadar untuk makan mie, sholat, dan istirahat setelah berjalan selama 4 jam. Selain pemandangan yang indah, Kampung Berua menawarkan tempat wisata lain seperti Gua Berlian dan Gua Kingkong.

Sorenya kami pulang menuju eco lodge dan menghabiskan malam di cottage dengan perasaan senang. Esoknya kami check out dari eco lodge dan menuju Makassar untuk wisata kuliner. Pak Udin mengenalkan kami dengan Pak Bahar, beliau punya angkot yang bisa mengantarkan kami menuju kota dan kemudian langsung menuju bandara untuk pulang kembali ke kota asal.

Sedikit gambaran pengeluaran selama di Rammang-rammang, diluar makan dan kebutuhan pribadi, harga eco lodge Rammang-rammang Rp 300.000 per kamar untuk 2 orang. Extra bed Rp 50.000, sewa kapal Rp 250.000 kapasitas 8 orang, parkir kapal Hutan Batu Rp 20.000, parkir kapal Telaga Bidadari Rp 5.000 per orang.

Berikut kontak yang kiranya dapat digunakan teman-teman saat mengeksplor Rammang-rammang, Bu Hasma Rammang-Rammang Cafe 0812-2260-9779, Pak Bahar angkot Maros-Makassar 0852-1408-3048.

Di sini teman-teman bisa melihat batuan karst yang berukuran kecil terhampar di rerumputan. Sebenarnya ada spot batuan karst yang lebih bagus dan menantang yaitu Hutan Batu, akan tetapi berbeda jalur dengan perjalanan sungai ini. Posisi Hutan Batu terletak sebelum dermaga 2 dan dekat kafe bukit Rammang-rammang.

Kemudian ada Telaga Bidadari. Setelah menyusuri sungai kurang lebih 15 menit dengan perahu dari Taman Batu, kami harus melakukan trekking ke dalam hutan selama kurang lebih 1 jam untuk menuju Telaga Bidadari. Telaga ini sangat tenang, airnya biru, dan bening.

Saya dan teman-teman melihat ada 2 ekor ikan di telaga ini. Menurut guide kami, ikan di sana sedari dulu tetap 2 dan tidak bertambah atau berkurang. Yang ketiga, Situs Karama. Ini adalah situs prasejarah di Karst Rammang-rammang.

Masih satu area dengan Telaga Bidadari, untuk menuju situs ini membutuhkan waktu kurang lebih satu jam trekking, tergantung medan. Saat itu saya melewati batuan licin dan sawah yang sangat berlumpur karena hujan yang baru saja reda.

Di sana teman-teman bisa menemukan bekas peninggalan Suku Toala. Suku Toala adalah nama suatu kelompok masyarakat adat di Maros, Sulawesi Selatan. Umumnya mereka tinggal di pinggir pantai atau gua-gua yang terdapat pada batuan karst. Gua-gua tersebut bahkan sudah banyak diteliti oleh budayawan dan ahli sejarah. Karenanya UNESCO juga menempatkan Maros sebagai Situs Warisan Dunia.

Peninggalan-peninggalan yang teman-teman bisa lihat di sini adalah lukisan tangan Suku Toala yang berwarna merah. Katanya mereka melukisnya dengan menggunakan darah hewan. Ada juga lukisan lain di dinding, warnanya hitam berbeda dengan lukisan tangan mereka karena mereka menggunakan batu obsidian (batu hitam) pada gua. Bekas-bekas kerang pun ditemukan di dinding gua karena hidup mereka pada zaman dulu adalah dengan mencari ikan dan kerang di pinggir pantai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar