Senin, 02 Maret 2020

Sisi Lain Bali, Jadi Kantor Jarak Jauh Turis

Bali tak hanya menarik pelancong biasa. Ada pula yang datang untuk bekerja jauh dari kantor.

Melansir BBC Future, Sabtu (2/2/2019), ini adalah kisah pengembara yang bekerja di luar. Mereka sekelompok profesional yang bosan di kantor dan bekerja jarak jauh (digital nomad working).

Seperti berasa di rumah, inilah Ubud. Ada di Kabupaten Gianyar yang ditawarkan adalah lingkungan kerja yang lebih nyaman dan pemandangan indah tentunya.

Ubud jauh berbeda dari pantai-pantai padat pengunjung di selatan Bali. Berada di jantung budaya Pulau Bali, ada kuil, sawah dan ukiran batu untuk dieksplor keberadaannya daripada berselancar dan berjemur.

Pariwisata telah membawa perkembangan pesat ekonomi Ubud. Dialiri listrik pada 1970-an, ketika Bali memiliki sekitar 100.000 pengunjung asing per tahun.

Ketika padi hampir siap panen, Ubud dikelilingi oleh ladang hijau yang menenangkan. Kecantikan ini dibangun di atas tenaga yang melelahkan dan kemajuan ekonomi telah membawa beberapa jenis pekerjaan baru di kota.

Di antara kuil dan wisatawan, ada kelompok profesional, kebanyakan dari mereka masih muda dan berasal dari Barat. Para profesional ini tinggal dan bekerja dari jarak jauh dari sini.

Pengembara digital ini tertarik oleh cuaca hangat dan lanskap yang cantik. Selain itu, sewa kantor yang murah juga jadi salah satu alasannya.

Gert Schreuder, merasa terjebak dengan Ubud, ia seorang pengembang perangkat lunak Afrika Selatan. Harapannya dapat berada di sana selama setidaknya satu tahun karena pekerjaannya bisa dilakukan dari mana saja.

Dia bilang lebih efisien ketika menikmati waktunya sendiri. Saat pagi hari ia pergi ke pantai atau melakukan yoga dan membuatnya lebih produktif juga fokus ketika kembali ke negara asalnya.

Gaya hidup warga Ubud yang sangat ramah jadi daya tarik lainnya dengan bukit-bukit dan pemandangan lain mengingatkannya pada rumah, namun cuacanya dirasa lebih baik. Ada di jarak yang sangat jauh berarti harus menerima panggilan telepon kantor pada jam-jam istirahat.

Sulit untuk mengetahui persis berapa banyak nomaden digital yang bekerja dari Ubud. Statistik dari imigrasi tidak membantu karena sebagian besar pengembara digital di sini sedang menjalankan visa bisnis 60 hari.

Selain itu, tidak ada definisi yang disepakati. Apakah seseorang yang membawa laptop di setiap perjalanannya bisa dikatakan nomaden digital.

Namun pasar yang melayani mereka menunjukkan jumlah mereka bertambah. Selain dua ruang kerja bersama (coworking space) yang terbilang besar di Ubud, ada sepuluh lainnya di seluruh pulau dan belum ada satu dekade lalu.

Itu bagian dari tren global, di mana wirausaha di Inggris meningkat dari 3,8 juta pada 2008 menjadi 4,6 juta pada 2015. Sementara studi baru-baru ini menemukan sekitar sepertiga dari tenaga kerja AS sekarang adalah pekerja lepas.

Firma riset AS, Gallup, menemukan bahwa dari tahun 2012 hingga 2016, jumlah karyawan yang bekerja dari jarak jauh setidaknya beberapa kali tumbuh dari 39% menjadi 43%. Harga tiket pesawat yang lebih murah dan konektivitas yang lebih baik memungkinkan untuk melakukannya dari jauh.

Ada pula yang mengatakan bahwa gaya hidup membuat mereka lebih produktif, namun tidak untuk semua orang. Ada beberapa perantau digital yang tidak disiplin.

Contoh hal buruk yang bisa terjadi adalah seseorang datang ke Outpost Ubud, sebuah ruang kerja bersama, untuk berlibur dua minggu, kata pengelola David Abraham. Orang-orang yang bekerja di kantor bersama itu sudah memiliki pekerjaan dan klien dan kebanyakan adalah pekerja lepas.

Ubud adalah tempat yang sempurna untuk perantau digital dalam banyak hal. Kawasan yang benar-benar menarik dengan infrastruktur yang cukup baik bagi perantau digital.

Meski biaya hidupnya jauh lebih mahal daripada Denpasar, namun terjangkau bagi kebanyakan orang dengan gaji Barat. Dari situs Nomadlist yang melacak pengeluaran dan fasilitas di berbagai kota untuk nomaden digital, biaya hidup di Ubud lebih dari USD 1.000 per bulan atau hanya setengah biaya semahal-mahalnya kota-kota Eropa atau AS tingkat dua, dan kurang dari sepertiga biaya hidup di New York.

Daniel Kristiyanto adalah ilmuwan data Indonesia yang baru saja tiba di Ubud setelah menghabiskan beberapa tahun di Seattle. Dia kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun bekerja dan belajar di AS. Dia menikmatinya sejauh ini.

Ada lagi sepenggal kisah dari Daniel Kristiyanto, ilmuwan data dari Indonesia dan baru saja tiba di Ubud setelah menghabiskan beberapa tahun di Seattle. Dia kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun bekerja dan belajar di AS dan kini menikmati tinggal di Bali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar