Sabtu, 28 Desember 2019

Koyasan, Kota Sakral di Negeri Sakura yang Mendunia

Koyasan, yang berarti Gunung Koya, terletak di Prefektur Wakayama di sisi selatan Osaka. Kota sakral ini namanya sudah mendunia.

Pada tahun 819, Koyasan dihuni pertama kali oleh Kukai (yang kemudian dikenal sebagai Kobo Daishi) yang mendirikan dan menyebarkan agama Budha beraliran Shingon.

Sejak itu, Koyasan berkembang menjadi pusat kegiatan agama Budha dan salah satu kota yang paling religius di Jepang, di mana terdapat monasteri, universitas berjurusan Budha Shingon dan 117 kuil yang masih aktif digunakan untuk upacara-upacara keagamaan yang sudah berjalan selama 1200 tahun terakhir.

Mulai pertengahan abad 20, kota kecil yang terletak di ketinggian 900 meter dari permukaan laut ini terbuka untuk dunia luar. Para turis mulai berdatangan sejak itu, walaupun belum banyak. Sejak tahun 2014, UNESCO menganugerahkan Koyasan sebagai Situs Warisan Dunia yang membuat popularitasnya kini kian meningkat.

Kuil-kuil yang indah, bersih nan terawat di sepanjang pinggir jalan besar dengan pepohonan rindang dan udara pengunungan yang segar membuat pusat kota Koyasan ini terlihat cantik dan asri, yang senantiasa memanjakan panca indera dan menyejukkan pikiran saya.

Tak sebatas pemandangan indah dan udara segar, kunjungan singkat saya selama sehari ke kota berpenduduk 7000 jiwa ini memberikan pengalaman berkesan yang melekat kuat dalam benak saya karena nuansa religinya yang masih sangat kental sembari tetap terbuka terhadap wisatawan asing dan kegiatan turisme yang tidak mainstream yang memperkaya wawasan budaya setempat.

Mulai dari mengelilingi kuburan Budha terbesar pada malam hari, bermalam dan mengikuti upacara keagamaan di kuil antik, hingga menyantap makanan vegetarian sehari-hari para biksu yang tak banyak ditemui di kota lain di Negeri Sakura.

MALAM-MALAM DI KUBURAN

Kegiatan hari pertama saya di Koyasan adalah mengikuti cemetery night tour atau tur malam ke kuburan. Dan tentunya, lokasi tur ini bukanlah di sembarang kuburan.

Kuburan yang saya maksud adalah Okunoin, kuburan Budha terbesar di Jepang seluas 2 kilometer yang merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi para biksu ternama, tokoh-tokoh penting di zaman feodal serta keluarga para konglomerat. Pada dasarnya, semua orang boleh dimakamkan di Okunoin tanpa membedakan negara asal, suku, ras, pendidikan, status sosial dan tidak harus pemeluk agama Budha selama mereka setuju dan percaya dengan filosofi Kobo Daishi.

Sebagai catatan, pendaftaran tur ini tidak bisa jauh-jauh hari. Cara satu-satunya adalah mencantumkan nama di buku tamu depan kuil Ekoin 1 jam sebelum dimulai. Kebetulan, kuil Ekoin ini hanya 2 menit jalan kaki dari kuil Kumagaiji tempat saya menginap, seolah-olah saya memang ditakdirkan untuk bergabung. Dengan membayar 1500 Yen per orang atau sekitar Rp. 200.000, tur akan dipandu oleh seorang biksu dari kuil Ekoin sendiri, bukan pemandu wisata biasa.

Animo tur yang dimulai pukul 7 malam ini ternyata cukup besar dengan jumlah peserta lebih dari 20 wisatawan berbagai negara, di mana saya orang Indonesia satu-satunya saat itu. Tujuan akhir tur makam ini adalah mausoleum Kobo Daishi, yang dipercaya masih melakukan meditasi abadi setelah lebih 1000 tahun kemudian dan tidak meninggal seperti manusia pada umumnya setelah segitu lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar