Sabtu, 28 Desember 2019

Koyasan, Kota Sakral di Negeri Sakura yang Mendunia (2)

Tak jauh dari mausoleum terdapat Gokusho Offering Hall atau dapurnya pemakaman, di mana biksu setempat memasak makan pagi dan siang yang diantar ke mausoleum Kobo Daishi setiap harinya pada pukul 6 dan 10.30 pagi.

Pastinya, kesan pertama ketika mendengar kata tur malam di kuburan adalah menyeramkan untuk sebagian orang. Apalagi memang ada legenda urban seputar Okunoin yang lumayan menyeramkan. Antara lain, terdapat sebuah sumur bila seseorang mengaca di permukaan airnya dan tidak nampak wajahnya, berarti kematian akan mendatanginya dalam 2 tahun. Juga mengenai anak tangga batu kakubanzaka yang kami lewati. Bila terjatuh di anak tangga tersebut, berarti yang bersangkutan akan meninggal dalam 3 tahun.

Tak terbatas dengan cerita seram, berbagai pengetahuan menarik pun juga tak kalah banyaknya. Salah satunya adalah gerbang torii yang umumnya berada di kuil Shinto, tetapi sering ditemui di batu-batu nisan Buddha di Okunoin. Hal ini menandakan perpaduan Budha dan Shinto, agama asli penduduk Jepang, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, termasuk upacara keagamaan.

Contohnya, upacara perayaan kelahiran dan pernikahan dilaksanakan dengan tradisi Shinto karena Shinto merayakan tahap awal dalam kehidupan, sedangkan upacara kematian dilaksanakan sesuai tradisi Budha.

Alih-alih merasa takut, saya lebih mudah berkonsentrasi dalam tur malam karena suasana yang lebih hening, dan nyaris tidak ada lalu-lalang pengunjung lain yang terkadang membuat perhatian teralihkan, sehingga apa yang diutarakan sang biksu pemandu terserap lebih baik dalam benak saya.

Apalagi dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam seraya menyelipkan unsur humor untuk mengurangi ketegangan yang membuat peserta lebih terhibur. Anggap saja bagaikan nonton bioskop yang semua penontonnnya fokus pada film yang ditayangkan.

Saya pun kembali ke Okunoin keesokan paginya untuk menikmati keindahan seni pahat batu yang terukir di lebih dari 200.000 nisan beserta patung-patung lain yang mendampinginya. Satu-satunya hal yang tidak berani saya coba adalah berkaca di permukaan air sumur.

Dalam hal ini, tur malam sebetulnya menjadi hal yang tidak begitu seram karena sumurnya tak terlihat jelas. Dan pastinya, saya tetap berhati-hati untuk tidak terjatuh di anak tangga kakubanzaka.

MENGINAP DI KUIL

Daya tarik lain di kota yang hampir separuh dari penduduknya adalah biksu ini adalah akomodasinya bila Anda memilih shukubo atau menginap di kuil bersama para biksu. Dari 117 kuil yang ada, 54 diantaranya menyediakan sarana penginapan bagi turis. Cara mendapatkan kamarnya mudah saja, tinggal pesan online melalui Agoda atau Booking.com.

Kuil-kuil yang namanya tercantum dalam kedua laman tersebut biasanya terdapat staf yang bisa berbahasa Inggris cukup baik. Harga rata-rata menginap di kuil dimulai dari 7000 Yen hingga diatas 20.000 Yen atau Rp 850.000 hingga diatas Rp 2.500.000 per malam.

Sebetulnya, kamar-kamar untuk penginapan dan ruang makan untuk turis terpisah dari tempat tinggal para biksu walaupun masih dalam 1 atap. Jadi, jangan harap bahwa Anda akan duduk di samping seorang biksu pas makan sore misalnya. Tetapi bagaimanapun juga, atmosfer spiritualnya masih terasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar