Sabtu, 28 Desember 2019

Koyasan, Kota Sakral di Negeri Sakura yang Mendunia (3)

Di pagi hari di Kumagaiji, saya dan para tamu lain diberi kesempatan berpartisipasi dalam upacara pagi untuk mendoakan arwah leluhur dan homa atau upacara api untuk cleansing atau pembersihan secara spritual dan psikologis. Dalam upacara api misalnya, kami diberikan stik kayu lempeng yang sedikit lebih panjang daripada batang es krim untuk menuliskan doa-doa dan harapan, yang nantinya akan dibakar di api dalam wadah yang diletakkan di altar supaya terkabul.

Mengambil bagian sekecil apapun dalam sebuah ritual tradisional tentunya menjadikan pengalaman wisata saya jauh lebih berarti dan tak terlupakan daripada sekedar menjadi penonton.

Tentunya, masih ada beberapa kegiatan yang dapat dikerjakan di dalam kuil bila Anda ingin menikmatinya secara utuh dengan belajar meditasi, melukis di kain sutera serta kaligrafi yang masing-masing berbayar, mulai dari 500 Yen hingga 1000 Yen atau Rp. 65.000 hingga Rp. 140.000 per kelas. Berendam di kolam air panas atau onsen adalah fasilitas lain yang bisa digunakan secara gratis sebagai tamu penginapan.

Saya juga sangat menyarankan untuk mencoba santapan di dalam kuil yang menyajikan makanan vegetarian yang dikonsumsi para biksu Jepang, shojin ryori.

MAKAN MAKANAN A LA BIKSU JEPANG

Shojin ryori sudah dikenal menjadi makanan sehari-hari biksu Jepang sejak abad ke-13 seiring dengan perkembangan Budha Zen. Para pengunjung bisa menjumpai hidangan shojin ryori di restoran-restoran vegetarian di pusat kota dan penginapan dalam kuil.

Berhubung saya terlambat booking makan sore di Kumagaiji dan beberapa restoran sudah tutup setibanya saya di Koyasan, akhirnya saya hanya berkesempatan 1 kali menikmati shojin ryori sebagai makan pagi di kuil setelah ritual pagi selesai.

Pada dasarnya, bahan baku yang digunakan dalam shojin ryori mempunyai 5 warna, yaitu merah, kuning, hijau, hitam dan putih, serta mengandung 5 macam rasa dalam 1 hidangan, dari manis, asin, pahit, asam dan gurih karena keseimbangan antara rasa dan warna dipercaya memberikan keseimbangan asupan gizi sehari-hari. Pengolahan makanan pun tidak menggunakan bumbu berbau menyengat seperti bawang putih dan bawang bombay.

Pada pagi itu, saya disuguhi tumisan okra dengan saus wijen, tumisan radish dan wortel iris, sup miso dan side dish rumput laut, plum dan sejenis perkedel tofu, dihidangkan dengan nasi putih yang pulen. Sangat terasa aroma minyak wijen, kecap asin dan kaldu rumput laut menggantikan bawang-bawangan untuk menyedapkan masakan tanpa menutupi, bahkan menguatkan rasa asli sayurannya yang manis segar. Tak dipungkiri lagi bahwa kesegaran bahan baku memegang peran sangat penting dalam kenikmatan kuliner vegetarian a la Negeri Sakura ini.

Wah, ternyata kualitas makanan di Kumagaiji memang enak sesuai testimoni yang pernah saya baca sebelumnya dan porsi nasinya lumayan banyak. Tetapi, memang rasa kenyangnya sayur-sayuran tidak membuat perut begah seperti kenyang daging yang membuat saya lebih fit dalam melanjutkan perjalanan.

Walaupun saya bukan tipe orang yang susah makan sayur, pengalaman ini mengajarkan saya bahwa tidak selamanya kenikmatan makan sayur harus diiringi dengan dominasi bumbu yang kuat atau bawang yang banyak. Bahkan, ketidakadaan daging imitasi khusus vegetarian tidak membuat saya kangen daging. Santapan shojin ryori ini tentunya memperkaya pengalaman saya dalam berkuliner Jepang selain sushi, sashimi dan ramen yang sudah pasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar