Selasa, 14 Juli 2020

WHO Desak Indonesia Perbanyak Tes PCR PDP-ODP karena Kasus Kematian Tinggi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak Indonesia untuk melakukan lebih banyak tes PCR (polymerase chain reaction) pada mereka yang dicurigai tertular COVID-19. Desakan ini disampaikan lantaran WHO melihat adanya jumlah kematian yang 'sangat tinggi' di antara Pasien dalam Pengawasan (PDP) dan Orang dalam Pengawasan (ODP), yang saat ini istilahnya diganti menjadi Suspek.
WHO mengakui bahwa Indonesia telah meningkatan kapasitas pengujian virus Corona. Hanya saja pengujian itu lebih banyak dilakukan pada orang yang telah diketahui positif COVID-19.

"Indonesia memiliki jumlah kematian yang sangat tinggi pada pasien PDP dan ODP. Oleh karena itu, tes PCR harus diprioritaskan untuk dugaan kasus (PDP dan ODP) daripada untuk tes tindak lanjut pada pasien yang akan dipulangkan," tulis WHO dalam laporan terbarunya untuk Indonesia.

WHO sebelumnya memperbarui pedoman manajemen klinis untuk COVID-19, yang diterbitkan pada tanggal 27 Mei, yang merevisi kriteria pasien sembuh COVID-19. Disebutkan bahwa bagi pasien kasus konfirmasi COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, tidak memerlukan tes PCR negatif dua kali berturut-turut.

"Jika pedoman ini diadopsi di seluruh negeri, maka prioritas PCR dapat meningkatkan diagnosis pada dugaan kasus COVID-19," lanjut WHO.

Per 13 Juli, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan secara kumulatif, sudah 1.074.467 spesimen yang diperiksa. Selain itu dilakukan pemantauan pada 33.504 ODP dan 13.439 PDP.

PDP Vs Suspek: Bikin Bingung Sejak Awal Pandemi, Bedanya Apa Sih?

Istilah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) diganti menjadi suspek. Sejak awal pandemi Corona, berbagai istilah teknis ini memang kerap bikin bingung.
Dalam satu kesempatan, Direktur Utama RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung Nina Susana Dewi membantah pasiennya. disebut suspek virus Corona. Saat itu, yang benar adalah 'dicurigai'.

"Jadi hoax kalau dibilang suspect virus corona. Masih kami observasi karena dicurigai gejalanya (virus corona)," kata Nina, awal 2020.

Di lain kesempatan, Staf Humas RSPI Sulianti Saroso juga menyampaikan keberatan atas penggunaan istilah suspek. Walau artinya sama, istilah yang lebih tempat sesuai pedoman yang berlaku saat itu adalah 'dalam pengawasan'.

Kini, istilah ODP dan PDP dihilangkan dan digantikan dengan 'kasus suspek'. Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, MSc menjelaskan maknanya.

"Jadi sekarang itu ada suspek, probable dan konfirmasi, kalau konfirmasi diagnosisnya pake PCR, kalau ODP dan PDP gejala doang suspek, kalau sudah diperiksa rapid test namanya probable, kalau diperiksa PCR namanya konfirmasi," jelas dr Miko saat dihubungi detikcom Selasa (14/7/2020).

ODP dan PDP hanya dipakai di Indonesia
Dihubungi secara terpisah, ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menjelaskan suspek adalah kasus yang dicurigai apakah ia terkena virus Corona atau tidak. Ada perbedaan terkait suspek dan istilah PDP atau ODP sebelumnya.

"Seharusnya ada perbedaan, perbedaan utama adalah kita menggunakan istilah yang standar dan dianjurkan oleh WHO," jelas Pandu.

Sementara itu, Miko menjelaskan istilah PDP dan ODP memang hanya diterapkan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kekhawatiran masyarakat terkait istilah suspek Corona.

"Di dunia ini kecuali di Indonesia istilah itu hanya dipakai di Indonesia karena Indonesia takut yang PDP itu disebut suspek, takut yang ODP disebut suspek, karena itu pada takut kalau kematian karena PDP kan karena COVID-19, pada takut masyarakatnya, tapi kan cuma Indonesia doang yang begitu, negara lain nggak ada," jelas Miko.
https://nonton08.com/star/jonathan-ozoh/feed/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar