Jumat, 07 Agustus 2020

Alasan Rapid Test Tak Bisa Dijadikan Acuan Pemeriksaan Virus Corona

Sejak awal pandemi virus Corona mulai terdeteksi di Indonesia, beberapa pihak mengandalkan rapid test untuk menscreening siapa saja yang terpapar COVID-19. Hanya saja pakar menilai rapid test memiliki tingkat akurasi yang rendah sehingga tidak bisa dijadikan acuan diagnosa COVID-19.
"Menurut WHO, tes berbasis serologi (rapid test, ELISA, CLIA) tidak boleh digunakan untuk penegakan diagnosa akut COVID-19," tutur pakar biologi molekuler Achmad Utomo dalam webinar yang diselenggarakan Society of Indonesian Science Journalist dan ditulis Jumat (7/8/2020).

Sejak awal penggunaannya, rapid test disebut lebih banyak memberikan 'false negative' atau hasil negatif meski sebenarnya positif. Terlebih jika rapid test dilakukan pada waktu yang tidak tepat.

Dijelaskan oleh Achmad, banyak sekali alat rapid test yang saat ini menyatakan 90-100 persen akurat tanpa menampilkan kapan tes dilakukan, apakah pada fase awal (1-7 hari), tengah (8-14 hari), atau akhir (>14 hari) pasca gejala. Mayoritas tes serologi akurat saat digunakan di fase akhir atau dua minggu pasca gejala.

Artinya, jika rapid test digunakan untuk skrining atau penegakan diagnostik, maka akan banyak sekali pasien COVID-19 yang lolos terlebih jika asimptomatik atau tanpa gejala.

Selain itu diterangkan oleh Achmad, performance dari alat rapid test yang mayoritas digunakan di Indonesia cenderung tidak akurat. Ini akan menimbulkan risiko yang sangat besar karena jika gagal mengidentifikasi orang yang terinfeksi maka mereka akan terus berkerumun dan menularkan ke orang lain.

"Apalagi kalau diagnosanya keliru dan ini juga mungkin yang bisa menjelaskan mengapa banyak nakes kita yang terpapar dan akhirnya meninggal," terang Achmad.

Penggunaan tes PCR maupun tes serologi atau rapid test harus melihat terlebih dulu fokus yang ingin dicapai dalam pengendalian COVID-19.

"Apabila kita ingin memutus rantai transmisi atau mengenali orang yagn psoitif COVID tentu harus menggunakan tes RT PCR. Tapi kalau kita ingin menguji keberhasilan vaksinasi atau melihat beban wilayah yang terpapar/apakah herd immunity tercapai tentu tes serologi lebih bagus," pungkasnya.

Satgas NU Sarankan Tes Tiup Api untuk Ketahui Efektivitas Masker Kain

Dalam adaptasi kebiasaan baru, masyarakat dituntut untuk menggunakan masker kain saat beraktivitas demi meminimalisir penularan virus Corona COVID-19. Namun, bagaimana cara kita tahu kalau masker tersebut efektif dalam menyaring virus?
Menurut Koordinator Satgas COVID-19 Nahdlatul Ulama, dr Muhammad Makky Zamzami, MARS, ada cara sederhana dalam membuktikan apakah masker yang digunakan memiliki penyaringan yang baik, yakni dengan tes meniup api.

Jadi, kita hanya perlu meniup api dengan mulut ditutup masker. Jika api tidak padam atau goyang, maka masker memiliki penyaringan yang baik.

"Nah ini jika apinya tidak tertiup atau goyang berarti penghambatan di kain ini cukup bagus. Jadi masyarakat bisa mempraktekkan dengan korek api saja," kata dr Makky di siaran pers BNPB, Jumat (7/8/2020).

Meski begitu, tes meniup api tidak bisa menjamin masker dapat menyaring virus atau bakteri dengan maksimal. Sebab, tes ini hanyalah indikator awal dalam pengujian kualitas masker.

"Itu hanya indikator awal saja sebab untuk mengecek filter ada syaratnya seberapa bisa dia menahan bakteri kemudian berapa partikulat yang bisa ditahan," kata peneliti nanoteknologi dari Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Eng Muhamad Nasir dalam wawancara beberapa waktu lalu.
https://cinemamovie28.com/at-the-beginning-its-all-good-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar