Minggu, 09 Agustus 2020

Hasil Rapid Test Diragukan, Bagaimana Jika Mau Bepergian?

 Saat masa PSBB mulai dilonggarkan, pemerintah mulai memperbolehkan masyarakat bepergian meski dengan beberapa persyaratan. Salah satu syarat untuk melakukan perjalanan adalah dengan memiliki surat keterangan memiliki hasil pemeriksaan RT-PCR negative atau rapid test nonreaktif.
Pemeriksaan dengan tes cepat antibodi atau rapid test banyak ditentang oleh para ahli karena memiliki sensitivitas yang rendah untuk menentukan diagnosa COVID-19. Kemungkinan terjadi hasil negatif palsu ataupun positif palsu dari rapid test cenderung tinggi sehingga dampaknya bisa berbahaya dan merugikan.

"Terkait dengan orang-orang yang bepergian domestik apalagi tes PCR-nya agak lama artinya memang kita harus pastikan bepergiannya terbatas, harus memiliki alasan yang sangat kuat kenapa harus bepergian," kata pakar biologi molekuler Ahmad Utomo dalam webinar Society of Indonesian Science Journalist dan ditulis Jumat (7/8/2020).

"Karena ya kalau dengan rapid test itu memberikan false sense of security jadi justru bisa jadi masalah baru," sambungnya.

Ahmad meminta agar masyarakat menunda melakukan perjalanan jika tidak mendesak. Terlebih di masa pandemi COVID-19 masih ada banyak kemungkinan untuk tertular baik di pesawat atau tempat tujuan akhir.

Beberapa waktu lalu, Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik juga menegaskan bahwa pemeriksaan PCR atau rapid test yang negatif tidak bisa menjamin seseorang bebas dari paparan SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19. Baik rapid test atau PCR tidak bisa dijadikan persyaratan layak melakukan perjalanan orang selama pandemi Corona, terlebih jika masa berlakunya 14 hari pada saat keberangkatan.

Untuk meminimalisir terjadinya penularan dan lonjakan kasus saat bepergian, PDS PatKlin, dalam rilisnya, menyarankan untuk melakukan pemeriksaan TCM (tes cepat molekuler) atau pemeriksaan antigen virus Corona dnegan sampel swab atau saliva di stasiun atau bandara sesaat sebelum seseorang melakukan perjalanan yang tentunya dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan.

"Penerapan protokol kesehatan secara ketat dan benar (pakai masker dan face shield, jaga jarak, cuci tangan) selama dalam perjalanan," tulis keterangan tersebut.

Kemenkes Sebut Belajar di Sekolah Bisa Dilakukan di Zona Kuning Corona

 Sekertaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI Oscar Primadi menyampaikan kebijakan baru terkait belajar-mengajar di masa pandemi COVID-19. Jika sebelumnya pembelajaran tatap muka hanya bisa dilakukan di zona hijau, saat ini siswa di zona kuning Corona bisa belajar di sekolah.
"Berdasarkan evaluasi penerapan SKB, diambil kebijakan relaksasi pembelajaran tatap muka sehingga dapat dilakukan di satuan pendidikan di zona hijau dan zona kuning," tutur Oscar dalam webinar Pengumuman Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 di Youtube Kemendikbud, Jumat (7/8/2020).

Untuk bisa melaksanakan proses belajar-mengajar tatap muka di zona hijau dan kuning harus mendapatkan izin dari pemerintah daerah setempat, artinya keputusan untuk memulai sekolah atau belajar tatap muka juga dikembalikan kepada daerah. Adapun di zona merah dan oranye, pembelajaran masih akan dilakukan secara online atau jarak jauh.

"Apabila didapatkan kasus positif pada satuan pendidikan di wilayah zona hijau atau kuning, maka kegiatan pembelajaran tatap muka dihentikan dan dikembalikan kepada pembelajaran jarak jauh dari rumah," jelas Oscar.

Kementerian Kesehatan juga mengingatkan agar pembelajaran tatap muka di zona kuning tetap mengedepankan kesehatan dan keselamatan anak. Protokol kesehatan seperti memakai masker, jaga jarak, dan mencuci tangan harus diterapkan dengan disiplin tinggi.

Berdasarkan peta zonasi per 2 Agustus, ada 163 daerah yang termasuk dalam kategori zona kuning dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
https://indomovie28.net/sex-first-love-second-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar