Minggu, 09 Agustus 2020

Perkembangan 5 Jenis Obat yang Diteliti untuk Hadapi Pandemi COVID-19

Apakah obat Corona sudah ditemukan? Pertanyaan tersebut mungkin kerap muncul di benak sebagian orang di masa pandemi ini. Sayangnya hingga saat ini masih belum ada obat yang dianggap memenuhi syarat sehingga bisa dijadikan terapi standar COVID-19.
Namun, laporan di berbagai penjuru dunia melihat setidaknya sudah ada beberapa kandidat obat potensial. Berikut 5 jenis obat yang pernah dan masih diteliti untuk COVID-19, seperti dikutip dari Mayo Clinic:

1. Obat antivirus
Berbagai jenis obat antivirus diteliti efeknya dalam menghadapi virus SARS-COV-2 penyebab COVID-19. Obat jenis ini bekerja dengan cara menekan kemampuan replikasi atau perkembangan virus di dalam tubuh.

Contoh obat antivirus yang diteliti untuk COVID-19 ada lopinavir, ritonavir, favipiravir, dan remdesivir. Beberapa ahli melihat remdesivir sebagai kandidat obat antivirus yang paling potensial.

2. Dexamethasone
Dexamethasone adalah jenis obat antiradang yang bekerja dengan cara menekan sistem imun. Beberapa pasien Corona mereka mengalami komplikasi karena reaksi imun yang berlebihan, sehingga pemberian obat ini disebut-sebut bisa mengurangi tingkat kematian pada pasien dengan gejala parah.

Hanya saja peneliti memberi peringatan bahwa obat ini bisa berbahaya jika diresepkan terlalu dini. Alasannya karena sistem imun yang bekerja baik-baik melawan penyakit malah dapat terganggu.

3. Terapi imun
Peneliti juga mempelajari terapi imun dengan memanfaatkan plasma darah pasien yang sudah sembuh dari COVID-19. Dasar dari terapi ini adalah diharapkan kekebalan tubuh terhadap COVID-19 yang sudah dibentuk oleh pasien sembuh dapat digunakan untuk membantu pasien sakit.

4. Klorokuin dan hidroksiklorokuin
Klorokuin dan hidroksiklorokuin merupakan obat yang biasa dipakai untuk menyembuhkan pasien malaria. Obat ini awalnya diteliti oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diberi izin penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA), namun belakangan dihentikan karena dianggap minim manfaat.

Sementara Indonesia dilaporkan masih menggunakan dua jenis obat ini karena disebut para pakar bisa membantu proses penyembuhan pasien.

5. Obat yang masih belum jelas efektivitasnya
Beberapa obat seperti amlodipine, ivermectin, losartan, dan famotidine juga diteliti, tapi khasiatnya masih belum terlalu jelas. Peneliti juga berusaha menemukan apakah ada obat yang bisa digunakan untuk mencegah infeksi COVID-19.

Apa yang Terjadi Bila COVID-19 Dibiarkan Saja? Ini Kemungkinan Dampaknya

Rasa 'lelah' terhadap pandemi COVID-19 disebut jadi alasan sebagian orang pada akhirnya memilih mengabaikan ancaman virus Corona. Ada yang beranggapan penyakit ini 'tidak mengerikan' karena tingkat kematiannya rendah sehingga bisa dibiarkan begitu saja tanpa perlu protokol kesehatan dan pembatasan yang ketat.
"Corona ada ga seseram yang kita bayangkan... mungkin bentuknya seperti hello kitty lucu dan imut..," kata satu pengguna Instagram.

"Kalau aku sih ga percaya itu ada. Ak anggap biasa kyk biasa2 aja krna semakin percaya ada nya corona ya smakin takut. Intinya banyak doa saja oke," komentar netizen lain pengguna Twitter.

Beberapa pakar kesehatan kerap mengatakan tujuan utama dari upaya protokol kesehatan dan pembatasan adalah agar kasus COVID-19 tidak melonjak secara drastis. Hal ini dapat berujung pada kolapsnya sistem kesehatan dan menimbulkan korban jiwa tambahan secara tidak langsung akibat berbagai penyakit lainnya.

Ketika jumlah pasien yang minta dirawat bertambah banyak, maka layanan fasilitas kesehatan akan kewalahan. Berikut beberapa contoh kecilnya seperti dikutip detikcom dari berbagai sumber:

1. Berkurangnya kemampuan diagnosis kanker
Laporan yang dipublikasi di jurnal JAMA Network Open melihat adanya penurunan drastis diagnosis kasus kanker baru. Hal ini tidak dianggap sebagai berita baik karena peneliti yakin ini terjadi karena penurunan jumlah pemeriksaan akibat sistem kesehatan yang dihantam pandemi COVID-19.

Dari periode Januari 2019 sampai Februari 2020 peneliti melihat penurunan kasus sampai 46,4 persen untuk jenis kanker payudara, kolorektal, gastrik, pankreas, dan esofagus.

"Pasien tidak memiliki kesempatan untuk melakukan cek kesehatan rutin karena mereka diimbau tidak mengunjungi dokter dulu," kata salah satu peneliti, Harvey Kaufman, seperti dikutip dari STAT pada Minggu (9/8/2020).
https://indomovie28.net/garoojigi-stud-the-beginning-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar